Senin, 02 Juni 2014

Empat Sehat, Limanya Sempurna dari Impor, Sehatkah?

Susu, adalah salah satu produk yang dihasilkan oleh Indonesia. Dari segi manfaat, susu memang banyak menyediakan zat-zat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan makhluk hidup. Mulai dari bayi kucing hingga bayi manusia sedini mungkin biasanya diberi asupan susu, baik susu alami dari induknya maupun susu olahan. Tentu Anda ingat benar, bahkan masih ingat mengenai jargon yang berkaitan dengan pentingnya mengonsumsi susu, yaitu 4 sehat 5 sempurna, titik.
Dari tahun ke tahun, tingkat konsumsi susu memang semakin meningkat, khususnya tingkat konsumsi susu di Indonesia. Sampai tahun 2014 pun, kebutuhan konsumsi susu nasional diperkirakan mencapai 8 juta liter/hari. Meskipun nilai konsumsi Indonesia yang sebesar itu masih ketinggalan dibanding tingkat konsumsi susu nasional negara di kawasan ASEAN.
Menariknya, tingkat konsumsi dalam negeri ini yang meningkat sampai saat ini pun belum dibarengi dengan ketersediaan bahan baku susu nasional. Produksi susu saat ini masih sebesar 1,6 juta liter/hari hingga 1,7 juta liter/hari. Hal tersebut menyebabkan hanya perusahaan dalam negeri yang bergerak di bidang pengolahan susu terpaksa melakukan impor besar-besaran untuk memenuhi kekurangan pasokan bahan baku susu segar. Ini berarti, sekitar 80% kebutuhan susu nasional masih dipenuhi dengan cara mengimpor susu dari luar negeri, seperti Australia dan Selandia Baru.
Selain keterbatasan pasokan bahan baku susu dalam negeri, produsen susu dalam negeri terpaksa mengimpor karena harga susu impor yang lebih murah daripada harga susu dalam negeri. Mahalnya harga susu lokal mengindikasikan kurangnya efisiensi dan manajerial pengolahan pada tingkat peternak sehingga berdampak pada besarnya marjin perdagangan susu di tingkat produsen pula. Dari segi kuantitas yang selalu kurang dari target nasional setiap tahunnya, ini menunjukkan perlunya menambah jumlah populasi ternak pada tingkat peternak. Tentunya, dengan mempertimbangkan produktivitas ternak nasional seberapa besar dahulu.
Indonesia memang sangat perlu impor, tetapi dengan kebijakan “terlalu” mengimpor, apa mungkin akan menjamin kesehatan ekonomi Indonesia ke depan? Jumlah populasi sapi perah nasional memang baru-baru ini mengalami penyusutan menjadi 350.000 ekor saja (surabaya.bisnis.com, 2014), berbeda dari tahun 2011 berdasarkan hasil Pendataan Sapi Perah, Sapi Potong, dan Kerbau (PSPK) BPS dan Kementerian pertanian, yakni sebanyak 597.100 ekor (BPS, 2011). Penyusutan populasi ternak sebagai peghasil bahan baku susu memang terjadi karena tergerus oleh usaha sapi potong sehingga, atau peternak beralih dari memelihara sapi perah ke sapi potong. Walhasil dari segi produksi susu peternak berkurang. http://www.butiktasonline.com/
Lantas, impor susu yang hingga mencapai 80% itu menyehatkan? Di sinilah perlunya pemerintah menetapkan perundang-undangan baru dalam kebijakan impor, terkhusus mengenai besar maksimal impor untuk melindungi harga dan stabilitas ekonomi nasional, serta dalam rangka untuk meminimalisasi adanya praktik penyelewengan atas kuota impor susu di tahun mendatang. Kebijakan impor besar pun jika dirasa “terlalu” sedikit banya bukankah justru berdampak negatif terhadap harga susu dalam negeri, ini pentingnya proteksi dua arah oleh pemerintah. Jika harga susu dalam negeri menjadi murah akibat terlalu banyaknya bahan baku impor yang membanjiri pasokan industri pengolahan susu, maka peternak selain menjadi malas untuk usaha sapi perah lagi dan memutuskan untuk usaha sapi potong atau kerbau.
Perlindungan harga di level peternak seyogyanya lebih diutamakan, yakni dengan program penambahan jumlah kepemilikan sapi perah per peternak. Meskipun dari segi efisiensi, peternak kita masih kalah jauh dibandingkan peternak luar negeri. Namun, inilah upaya dini untuk mengurangi ketergantungan lebih terhadap impor. Tentunya adanya suntikan dana dalam bentuk subsidi pakan dan lahan hijauan kepada peternak, maka secara bertahap akan mampu memperbaiki tingkat ketergantungan impor susu yang berlebihan.